Aku lahir dan dibesarkan di sebuah desa kecil di pelosok pegunungan Indonesia. Tempat di mana sinyal telepon menjadi barang langka, dan hujan hanya datang sebagai tamu yang tak menentu. Setiap tahun, desa kami selalu dilanda kekeringan. Sumur-sumur mengering, ladang menguning, dan air menjadi barang yang lebih berharga daripada emas. Namun, bagi kami yang lahir di sini, semua itu adalah bagian dari kehidupan.
Seperti anak-anak lainnya di desa, setiap pagi aku berjalan kaki ke sekolah. Jaraknya tidak dekat, tapi kami sudah terbiasa. Sepulang sekolah, aku menggembala kambing sambil mencari rumput. Tidak ada hiburan seperti yang dimiliki anak-anak di kota—tidak ada televisi, tidak ada internet, apalagi smartphone. Yang ada hanyalah alam luas dan kehidupan sederhana yang mengajarkan kami arti perjuangan sejak dini.
Namun, ada satu hal yang berbeda dariku. Aku memiliki ketertarikan besar pada dunia teknologi. Aku tidak tahu bagaimana awalnya, tetapi setiap kali aku menemukan potongan majalah atau koran bekas tentang perkembangan teknologi, aku membacanya dengan penuh semangat. Aku bahkan mengumpulkan lembaran-lembaran itu dan menyimpannya di dalam buku usang agar tidak rusak.
Aku sering membayangkan bagaimana rasanya bisa memegang sebuah komputer, memahami cara kerja internet, atau bahkan membuat program sendiri. Namun, mimpi itu terasa begitu jauh. Aku tidak memiliki laptop, komputer, atau bahkan ponsel. Aku hanya punya rasa ingin tahu dan impian yang terus tumbuh di dalam diriku.
Ketika aku memasuki bangku SMK, aku memilih jurusan yang berkaitan dengan teknologi. Itu adalah keputusan besar dalam hidupku, meskipun aku tahu bahwa fasilitas di sekolah sangat terbatas. Kami hanya memiliki beberapa komputer tua yang dipakai bergantian. Namun, aku tidak menyerah. Aku belajar dari buku, bertanya kepada guru, dan mencatat semua hal yang menurutku penting.
Meski begitu, aku sering merasa rendah diri. Aku pemalu dan tidak percaya diri ketika harus berbicara di depan banyak orang. Melihat teman-teman lain yang lebih mahir dan memiliki akses lebih baik ke teknologi membuatku merasa semakin tertinggal. Namun, aku terus berusaha. Aku tahu, jika aku ingin mengubah nasibku, aku harus terus belajar dan mencari jalan keluar.
"jangan sampai keadaan membuat mimpimu kandas, kamu mungkin hidup penuh dengan keterbatasan, tapi jangan pernah membatasi mimpi"
Aku tidak tahu bagaimana masa depanku akan berjalan, tetapi satu hal yang pasti: aku tidak akan berhenti bermimpi. Meskipun saat itu aku hanyalah seorang anak desa yang menggembala kambing sepulang sekolah, aku percaya bahwa suatu hari nanti aku akan menemukan jalanku menuju dunia teknologi yang selama ini hanya bisa kulihat dari lembaran majalah bekas.

Harga : *Belum termasuk Ongkos kirim