Nasehat

Lamunan Senja di penghujung hari di Sudut kota Jakarta

Jakarta Kota Metropolitas, Kesenjangan Ekomoni sangat terlihat disini, Lamunan Senja di penghujung hari di Sudut kota Jakarta

Langit mulai kelabu, perlahan gelap tertutup awan hitam, seiring tenggelamnya matahari di ufuk barat. Hembusan angin sejuk mulai menyelinap ke setiap sudut kota Jakarta yang panas, menjadi pertanda bahwa siang telah berlalu dan malam mulai merayap menyelimuti bumi. Betapa besar kasih sayang Allah kepada hamba-Nya, tak terhitung dengan kata-kata.

Namun, meski udara sore terasa lebih sejuk, panasnya kota ini tetap tak tertahankan. Meskipun diam tanpa aktivitas, tubuh tetap berkeringat. Mungkin karena kepadatan rumah-rumah dan membeludaknya kendaraan yang memenuhi setiap sudut ibu kota. Di tengah suasana itu, atas izin Allah, angin mulai bertiup lebih kencang, membawa kesejukan yang perlahan menggantikan hawa panas. Dari langit, butiran-butiran air pun jatuh, semakin deras seiring waktu. Tak terasa ternyata, hujan membawa kesejukan yang ditunggu-tunggu di tengah hiruk pikuk Jakarta, kota tempat orang mengadu nasib mereka.

Aku menutup pintu, bersantai sejenak di dalam rumah, menikmati alunan musik instrumental dari Kitaro. Perlahan, di tengah suara hujan yang menenangkan, terdengar sayup-sayup panggilan cinta dari Sang Maha Agung. Suara itu semakin jelas dan diikuti oleh gema lainnya.

Adzan. Itulah suara adzan Magrib. Kini, siang benar-benar berlalu, dan malam telah tiba. Di saat seperti ini, pikiranku melayang ke kampung halaman yang selalu kurindukan. Di sana, tanpa kipas angin atau AC sekalipun, udara tetap sejuk, bahkan semakin dingin saat sore menjelang. Biasanya, aku dan Bapak tercinta akan segera bergegas ke masjid yang berjarak sekitar 400 meter dari rumah kami.

Kota Penuh dengan Masjid Masjid Yang Megah dan Mewah

Berbeda dengan Jakarta, di mana masjid-masjid besar dan megah berdiri di hampir setiap sudut kota, di kampungku, masjid tidak sebanyak itu. Di kota, cukup berjalan kaki sebentar, kita bisa menemukan masjid yang selalu ramai jamaah. Namun, di kampung, jumlah jamaah sering kali hanya satu, dua, atau paling banyak tujuh orang. Mungkin karena jarak masjid yang cukup jauh, atau bisa jadi karena masih kurangnya kesadaran akan pentingnya ibadah.

Aku teringat kembali pada impianku saat masih belajar mengaji dulu—ingin menjadikan kampung halaman sebagai kampung santri. Namun, kenyataannya tak semudah yang kubayangkan. Menuntut ilmu itu penuh tantangan dan rintangan. Tiba-tiba suara iqomah memecah lamunanku yang menjadi pertanda sholat akan segera dimulai, Akupun bergegas menuju masjid menyadari bahwa panggilan suci ini tidak boleh diabaikan.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button